Gang Sartana
Sartana bisa disebut nama gang orang Minahasa/Manado
yang pernah ada di Jakarta pada era tahun 1960-70an. Pada umumnya mereka ini
berasal dari sub etnik-Toulour, yakni orang-orang Tondano dan Passo
Kakas, sebagai kaum urban yang bermigrasi ke Ibukota Republik Indonesia, Jakarta.
Dilihat dari perspektif migrasi pada umumnya anak-anak muda Minahasa ke Jakarta bukan sekedar didorong oleh kondisi sosial ekonomi di daerah asal untuk mencari lapangan kerja di Jakarta (push-factors), tetapi juga karena daya tarik kota Jakarta sebagai kota metropolitan (pull factors). Daya tarik ini dipengaruhi oleh saudara atau temannya yang sudah lebih dahulu ke Jakarta, sehingga diambil keputusan untuk jadi urban di kota metropolitan tersebut.
Selain itu, pihak-pihak yang cukup signifikan mempengaruhi keputusan pergi ke Jakarta adalah para mantan pemberontak Permesta yang sudah sejak pasca pergolakan permesta berada di Jawa/Jakarta (catatan: kebanyakan dari ex-Permesta yang direkrut menjadi pasukan "Raiders 600" yang ikut membela tanah air ganyang Malaysia).
Kapal-kapal laut Pelni yang jadi akses perhubungan laut ke Jakarta, antara lain Oriental Queen, Aru Marinir, KM Tampomas (sudah tenggelam), dan KM Gunung Jati
Maka hanya dengan bermodal nekad dan tekad, berangkatlah anak-anak Toulour ke Jakarta. Ada banyak kisah suka duka selama perjalanan menggunakan kapal laut.
Situasi Sosial di Tempat Tujuan
Sesampainya di Jakarta, pada umumnya anak muda Minahasa –terutama yang dari Tondano- bermukim di rumah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan, yakni Om Gustaf atau dikenal dengan sebutan Om Uta Kamagi, di Jl. Kesehatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Dapat dikatakan rumah Om Uta relatif cukup untuk menampung 20-30 migran Tondano (seperti rumah kost gratis).
Mengapa sampai rumah Om Uta ini jadi tempat persinggahan mereka? Mungkin, Om Uta memang memiliki jiwa sosial yang tinggi yang ditunjang oleh keluarganya (memiliki beberapa anak lelaki yang senang kumpul dengan Kawanua/Tondano), sebagai strategi keamanan hidup di kota yang belum begitu stabil tingkat keamanannya.
Mengapa Nama Gang SARTANA?
Berkenaan dengan rumah Om Uta relatif dekat dengan kawasan Sarinah (satu-satunya pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta pada era 70-an), maka setiap hari kawasan tersebut dijadikan sebagai tempat berkumpul/nongkrong anak-anak muda kawanua.
Lambat laun kawasan tersebut bisa dikuasai sedemikian rupa (tentu melalui pola kekerasan hidup di kota), sehingga pada akhirnya semua kendaran yang parkir di situ, dijadikan client mereka, artinya kendaraan-kendaran yang parkir di pelataran Sarinah harus menyetor ongkos parkirnya (pendapatan sehari yang diraup cukup lumayan besar nilai rupiahnya).
Akhirnya kehadiran mereka di Sarinah semakin diketahui oleh khalayak di Jakarta, karena mereka bertempat tinggal di kawasan Tanah Abang, dan apabila kejadian tindak kekerasan (perkelahian dengan kelompok/gang lain), maka kelompok mereka disebut anak-anak SARTANA (Sarinah-Thamrin-Tanah Abang), yakni merupakan kawasan-kawasan pusat ekonomi terkenal yang dikuasai oleh anak-anak kawanua pada waktu itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila nama gang Sartana cepat populer dikenal oleh masyarakat DKI.
Apalagi salah satu tempat hiburan malam yang cukup popular di Jakarta, 'Tanamur' (Bar & Night Club) yang terletak di kawasan Tanah Abang , sering didatangi oleh artis-artis ibukota, dan anak-anak muda Kawanua yang masih relatif muda, bergaya macho, diceritakan cukup menarik simpatik oleh kalangan wanita selebriti dan anak-anak gedongan Jakarta.
Sang Legendaris
Setuju atau tidak, dari beberapa tokoh Sartana yang cukup melegenda pada era tahun 60-70-an hingga menjelang awal 80an ada tiga nama, yaitu: Elvi Singal (almarhum), Tommy Wuisang dan Tommy Tilaar (kedua nama Tommy masih hidup). Boleh dibilang ketiga tuama ini mempunyai pengalaman sebagai waraney atau jagoan, karena karisma dan keberaniannya, hingga cukup signifikan untuk dijadikan pihak yang melegenda pada waktu itu, dan secara sosiobudaya layak disebut sebagai ‘pekakaan’ (senior-brother). Ada lagi nama Alm. Max Legoh alias Sherif, Om Lexy Tumelap alias Jacks! karena ayahnya Jaksa di Tondano dan Rolly Kalalo (sumber: Hanny Legoh) dan kakak beradik dari Passo, Kakas yaitu: FERDY SANGER dan BOY SANGER.
Kemudian pada tahun 1967 ada nama Ar Farry A Malonda (Mantan Senior Supervisor Drill & Exploration Total E & P Balikpapan Kaltim/Tonaas BM Borneo), berperan menjadi agen penarik anak muda Tondano ke Jakarta. Beliau kemudian bermigrasi ke Borneo sampai sekarang. Alm Johnny "Texas" Pangalila, Kakak-adik Ences dan Johny Runtunuwu, Noldy Kamagi, alm Dicky Manus alias "Brudel", alm Harry Malondo, Jack Giroth alias "Pajeko" asal Koya, dan Lexy Wuntu alias "Jengkel" asal desa Taler Tondano) cukup dikenal di kawasan Blok M (70-80-an), Johny Singkoh, Buang Paruntu alias "Kupu-kupu" karena di dadanya ada tato bergambar Kupu-kupu besar dan dia terkena PETRUS (Penembakan Misterius) tahun '82, ada juga Otje "Songkey" Lumingkewas, Decky Maengkom (Tonaas Wangko BM Sulut), Engky Moningkey, Utu Petualang, Erri 'Pao', dan Empy Pakasi alias 'Kancil' (Sumber: Ap Farry A Malonda). Tambahan: Panglima Waraney Minahasa Fongky Surentu.
Dan generasi muda lainnya yang juga tidak kalah pamor dengan pekakaan-pekakaan di atas, terutama pada era pertengahan tahun 70-an, antara lain Roy Erickson Mamengko (Doctor/Ph.d, mantan Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip-Unsrat/mantan Ketua KPU Kab. Minahasa; dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta), Yanny Maukar alias 'Jiwa' (sekarang ini ada di Libya), Dolvie Kotambunan alias 'Utu Beres' (mantan sub-direktur ST Sospol Kodam cab. Tondano/pengusaha warnet), Bruri Wengkol, Johny Onibala, dll.
Ciri Khas dan gang-gang Saingan Sartana
Mengenai ciri khas Gang Sartana ini, dapat dilihat dari gaya rambut (panjang ala Indian) dengan celana dan jaket Jeans Levis, serta 'jarang' menggunakan tato. Tapi, khususnya para pimpinannya, bila siang hari, biasanya berpakaian rapih bahkan ada yang memakai dasi.
Selain gang Sartana, ada juga gang-gang saingan lainnya yang dimunculkan oleh anak-anak kolong (asrama tentara), antara lain Siliwangi, Bearland Matraman, dan Harper (Halim Perdana Kusumah-AURI). Gang-gang lainnya, seperti PAMORS (gang gabungan orang Padang & Manado), Alamo, LEGOS, dll.
Usainya Gang Sartana
Pada waktu alm. Letjen TNI/AD Alm GH Mantik menjabat Pangdam V Jaya (tahun 1980-an), mulailah diadakan operasi penertiban oleh aparat setempat di kawasan strategis kota Jakarta, antara lain kawasan Sarinah.
Imbasnya, sejak GH Mantik jadi Pangdam V Jaya, para preman Sartana asal Tondano (sekampung dengan GH mantik > cat: GH Mantik juga berdarah Passo), satu demi satu meninggalkan kawasan sarinah dan sebagian pulang kembali ke daerah asalnya Tondano, dan sebagian yang sudah mendapat pekerjaan tetap di Jakarta pindah dari kawasan Tanah Abang ke sanak keluarga mereka atau tempat lainnya di Jakarta.
Dan pada era rezim Soeharto yang dikenal dengan kebijakan siluman ala PETRUS (Penembakan Misterius), terjadi pengungsian anak-anak Sartana, termasuk ketiga pimpinannya, alm. Elvie Singal, Tommy Tilaar dan Tommy Wuisang. Yang sekarang ini boleh dibilang hidup mereka sudah mapan di tanah kelahirannya. Dan satunya lagi sukses menjadi pemuka masyarakat di Borneo sebagai Tonaas Brigade Manguni yaitu: Ap Farry A Malonda yang secara gemilang menjalin hubungan persahabatan erat dengan para pimpinan Dayak.
* Rendai Ruauw
(dari berbagai sumber)
Dilihat dari perspektif migrasi pada umumnya anak-anak muda Minahasa ke Jakarta bukan sekedar didorong oleh kondisi sosial ekonomi di daerah asal untuk mencari lapangan kerja di Jakarta (push-factors), tetapi juga karena daya tarik kota Jakarta sebagai kota metropolitan (pull factors). Daya tarik ini dipengaruhi oleh saudara atau temannya yang sudah lebih dahulu ke Jakarta, sehingga diambil keputusan untuk jadi urban di kota metropolitan tersebut.
Selain itu, pihak-pihak yang cukup signifikan mempengaruhi keputusan pergi ke Jakarta adalah para mantan pemberontak Permesta yang sudah sejak pasca pergolakan permesta berada di Jawa/Jakarta (catatan: kebanyakan dari ex-Permesta yang direkrut menjadi pasukan "Raiders 600" yang ikut membela tanah air ganyang Malaysia).
Kapal-kapal laut Pelni yang jadi akses perhubungan laut ke Jakarta, antara lain Oriental Queen, Aru Marinir, KM Tampomas (sudah tenggelam), dan KM Gunung Jati
Maka hanya dengan bermodal nekad dan tekad, berangkatlah anak-anak Toulour ke Jakarta. Ada banyak kisah suka duka selama perjalanan menggunakan kapal laut.
Situasi Sosial di Tempat Tujuan
Sesampainya di Jakarta, pada umumnya anak muda Minahasa –terutama yang dari Tondano- bermukim di rumah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan, yakni Om Gustaf atau dikenal dengan sebutan Om Uta Kamagi, di Jl. Kesehatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Dapat dikatakan rumah Om Uta relatif cukup untuk menampung 20-30 migran Tondano (seperti rumah kost gratis).
Mengapa sampai rumah Om Uta ini jadi tempat persinggahan mereka? Mungkin, Om Uta memang memiliki jiwa sosial yang tinggi yang ditunjang oleh keluarganya (memiliki beberapa anak lelaki yang senang kumpul dengan Kawanua/Tondano), sebagai strategi keamanan hidup di kota yang belum begitu stabil tingkat keamanannya.
Mengapa Nama Gang SARTANA?
Berkenaan dengan rumah Om Uta relatif dekat dengan kawasan Sarinah (satu-satunya pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta pada era 70-an), maka setiap hari kawasan tersebut dijadikan sebagai tempat berkumpul/nongkrong anak-anak muda kawanua.
Lambat laun kawasan tersebut bisa dikuasai sedemikian rupa (tentu melalui pola kekerasan hidup di kota), sehingga pada akhirnya semua kendaran yang parkir di situ, dijadikan client mereka, artinya kendaraan-kendaran yang parkir di pelataran Sarinah harus menyetor ongkos parkirnya (pendapatan sehari yang diraup cukup lumayan besar nilai rupiahnya).
Akhirnya kehadiran mereka di Sarinah semakin diketahui oleh khalayak di Jakarta, karena mereka bertempat tinggal di kawasan Tanah Abang, dan apabila kejadian tindak kekerasan (perkelahian dengan kelompok/gang lain), maka kelompok mereka disebut anak-anak SARTANA (Sarinah-Thamrin-Tanah Abang), yakni merupakan kawasan-kawasan pusat ekonomi terkenal yang dikuasai oleh anak-anak kawanua pada waktu itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila nama gang Sartana cepat populer dikenal oleh masyarakat DKI.
Apalagi salah satu tempat hiburan malam yang cukup popular di Jakarta, 'Tanamur' (Bar & Night Club) yang terletak di kawasan Tanah Abang , sering didatangi oleh artis-artis ibukota, dan anak-anak muda Kawanua yang masih relatif muda, bergaya macho, diceritakan cukup menarik simpatik oleh kalangan wanita selebriti dan anak-anak gedongan Jakarta.
Sang Legendaris
Setuju atau tidak, dari beberapa tokoh Sartana yang cukup melegenda pada era tahun 60-70-an hingga menjelang awal 80an ada tiga nama, yaitu: Elvi Singal (almarhum), Tommy Wuisang dan Tommy Tilaar (kedua nama Tommy masih hidup). Boleh dibilang ketiga tuama ini mempunyai pengalaman sebagai waraney atau jagoan, karena karisma dan keberaniannya, hingga cukup signifikan untuk dijadikan pihak yang melegenda pada waktu itu, dan secara sosiobudaya layak disebut sebagai ‘pekakaan’ (senior-brother). Ada lagi nama Alm. Max Legoh alias Sherif, Om Lexy Tumelap alias Jacks! karena ayahnya Jaksa di Tondano dan Rolly Kalalo (sumber: Hanny Legoh) dan kakak beradik dari Passo, Kakas yaitu: FERDY SANGER dan BOY SANGER.
Kemudian pada tahun 1967 ada nama Ar Farry A Malonda (Mantan Senior Supervisor Drill & Exploration Total E & P Balikpapan Kaltim/Tonaas BM Borneo), berperan menjadi agen penarik anak muda Tondano ke Jakarta. Beliau kemudian bermigrasi ke Borneo sampai sekarang. Alm Johnny "Texas" Pangalila, Kakak-adik Ences dan Johny Runtunuwu, Noldy Kamagi, alm Dicky Manus alias "Brudel", alm Harry Malondo, Jack Giroth alias "Pajeko" asal Koya, dan Lexy Wuntu alias "Jengkel" asal desa Taler Tondano) cukup dikenal di kawasan Blok M (70-80-an), Johny Singkoh, Buang Paruntu alias "Kupu-kupu" karena di dadanya ada tato bergambar Kupu-kupu besar dan dia terkena PETRUS (Penembakan Misterius) tahun '82, ada juga Otje "Songkey" Lumingkewas, Decky Maengkom (Tonaas Wangko BM Sulut), Engky Moningkey, Utu Petualang, Erri 'Pao', dan Empy Pakasi alias 'Kancil' (Sumber: Ap Farry A Malonda). Tambahan: Panglima Waraney Minahasa Fongky Surentu.
Dan generasi muda lainnya yang juga tidak kalah pamor dengan pekakaan-pekakaan di atas, terutama pada era pertengahan tahun 70-an, antara lain Roy Erickson Mamengko (Doctor/Ph.d, mantan Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip-Unsrat/mantan Ketua KPU Kab. Minahasa; dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta), Yanny Maukar alias 'Jiwa' (sekarang ini ada di Libya), Dolvie Kotambunan alias 'Utu Beres' (mantan sub-direktur ST Sospol Kodam cab. Tondano/pengusaha warnet), Bruri Wengkol, Johny Onibala, dll.
Ciri Khas dan gang-gang Saingan Sartana
Mengenai ciri khas Gang Sartana ini, dapat dilihat dari gaya rambut (panjang ala Indian) dengan celana dan jaket Jeans Levis, serta 'jarang' menggunakan tato. Tapi, khususnya para pimpinannya, bila siang hari, biasanya berpakaian rapih bahkan ada yang memakai dasi.
Selain gang Sartana, ada juga gang-gang saingan lainnya yang dimunculkan oleh anak-anak kolong (asrama tentara), antara lain Siliwangi, Bearland Matraman, dan Harper (Halim Perdana Kusumah-AURI). Gang-gang lainnya, seperti PAMORS (gang gabungan orang Padang & Manado), Alamo, LEGOS, dll.
Usainya Gang Sartana
Pada waktu alm. Letjen TNI/AD Alm GH Mantik menjabat Pangdam V Jaya (tahun 1980-an), mulailah diadakan operasi penertiban oleh aparat setempat di kawasan strategis kota Jakarta, antara lain kawasan Sarinah.
Imbasnya, sejak GH Mantik jadi Pangdam V Jaya, para preman Sartana asal Tondano (sekampung dengan GH mantik > cat: GH Mantik juga berdarah Passo), satu demi satu meninggalkan kawasan sarinah dan sebagian pulang kembali ke daerah asalnya Tondano, dan sebagian yang sudah mendapat pekerjaan tetap di Jakarta pindah dari kawasan Tanah Abang ke sanak keluarga mereka atau tempat lainnya di Jakarta.
Dan pada era rezim Soeharto yang dikenal dengan kebijakan siluman ala PETRUS (Penembakan Misterius), terjadi pengungsian anak-anak Sartana, termasuk ketiga pimpinannya, alm. Elvie Singal, Tommy Tilaar dan Tommy Wuisang. Yang sekarang ini boleh dibilang hidup mereka sudah mapan di tanah kelahirannya. Dan satunya lagi sukses menjadi pemuka masyarakat di Borneo sebagai Tonaas Brigade Manguni yaitu: Ap Farry A Malonda yang secara gemilang menjalin hubungan persahabatan erat dengan para pimpinan Dayak.
* Rendai Ruauw
(dari berbagai sumber)