dr. Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur keempat jakarta



Lahir di Curahsuko, Rambipuji sebagai putera dari Manghoerodin Sosroatmojo yang terakhir menjabat sebagai asisten wedono. Soemarno kecil sering di titipkan di rumah bibinya di daerah Wetan Kantor, Jember. Nah karena tinggal di daerah Wetan Kantor ini, sekolahnya pun di HIS Jember yang cukup dekat dengan rumah bibinya (sekarang SMP 2 Jember). Soemarno tinggal dengan bibinya mengingat ayahnya yang asisten wedono selalu berpindah-pindah tempat, dari Silo, Ambulu, Panji (Situbondo) sampai ke Jati Banteng (dekat Besuki). Salah satu guru beliau tinggal di Hotel Djember yang sekarang tinggal sejarah (sekarang BRI Alun-Alun).

Selulus dari HIS, beliau melanjutkan pendidikan di MULO, Malang tahun 1925 sampai tahun 1929. Selama menjalani pendidikan di MULO ini, Soemarno aktif di kepanduan sehingga membentuk mental yang tangguh selain juga mulai mengenal tentang pergerakan nasiona. Pendidikan selanjutnya di dapat di NIAS, Surabaya, sekolah kedokteran untuk mahasiswa pribumi yang kelak menjadi Fakultas Kedokteran, Unair. Salah satu dosennya adalah Dokter Sutomo yang mengajar Dermato-venerologie. Beliau lulus tahun 2 April 1938 dan berhak mendapat gelar dokter.

Sebagai Dokter Hindia Belanda

Karena selama menjalani pendidikan dengan beasiswa, maka selulus dari NIAS dr Soemarno harus menjalani ikatan dinas dengan penempatan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Penugasan sementara yang diterima adalah sebagai asisten dr Venhuis, seorang ahli malaria di Surabaya. Ini mengisyaratkan bahwa kemudian hari dr Soemarno akan ditempatkan di luarJawa. Akhirnya pada 14 Juni 1938, dr Soemarno dan keluarga bertolak ke Tanjung Selor , Kabupaten Bulungan sekarang, di Kalimantan Timur. Setelah setahun di Tanjung Selor, tugas lain menanti yaitu di Kuala Kapuas, Kalimantan Selatan tahun 1939. Namun selama 3 bulan, dr Soemarno sempat bertugas di Amuntai sambil menunggu dokter pengganti datang. Saat bertugas di Kuala Kapuas ini pecah perang pasifik yang membuat dr Soemarno tertahan di Kalimantan sampai bulan Agustus 1945.

Sebagai kenang-kenangan atas jasa beliau di Kalimantan, saat ini ada 2 buah rumah sakit dengan nama RSUD dr. Soemarno Sosroatmodjo. Pertama di Tanjung Selor, Bulungan dan satu lagi di Kabupaten Kapuas. Suatu prestasi yang jarang ada di Indonesia.

 Sebagai Dokter yang  Tentara

Dengan menumpang perahu layar, dr Soemarno tiba di Bangkalan untuk kemudian menuju ke Malang, tempat keluarganya diungsikan terlebih dahulu dari Kalimantan. Karena pemerintah Hindia telah runtuh, dr Soemarno sempat menganggur sementara waktu. Kondisi yang tidak menentu saat itu dan pecahnya pertempuran di Surabaya akhirnya membawa dr Soemarno bergabung sebagai dokter tentara di Malang dengan pangkat Kapten.  Selama di Malang ini, selain bertugas sebagai dokter Tentara beliau juga menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan seperti perawat, bidan mapun bintara kesehatan.

Beliau bergabung dengan dokter lain mempersiapkan Rumah Sakit Tentara Claket Malang sebagai tempat pengungsian pasien dari Surabaya sebagai imbas dari pertempuran 10 November.  Saat Agresi Militer II, Mayor dr Soemarno menjabat sebagai Kepala RST di Solo yang disamarkan sebagai RS PMI.

Bersama Bung Karno

Setelah pengakuan kedaulatan, tahun 1950 dr Soemarno bertugas di Makasar sebagai dokter tentara dalam operasi militer menumpas gerakan Andi Azis di Makasar dan  RMS di Ambon. Selanjutnya beliau menjabat sebagai Dokter Divisi Indonesia Timur dan berkedudukan di Makasar, sampai akhirnya kembali ke Jakarta tahun 1953 sebagai Kepala Pendidikan Kesehatan Angkatan Darat selama 5 tahun. Salah satu prestasi beliau di Angkatan Darat adalah pembentukan Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD). Selama awal kemerdekaan, perempuan tidak diberikan kesempatan menjadi tentara sementara kontribusi mereka sangat besar. Berdasarkan pengalaman selama di daerah gerilya di Malang Selatan, Brigjend dr Soemarno mengusulkan pembentukan KOWAD pada Jendral Ahmad Yani dan di dukung oleh Jendral Gatot Subroto pada pertengahan tahun 1950-an.

Sebagai Gubernur DKI

Jabatan terakhir di lingkungan TNI AD yang disandang beliau adalah sebagai Aisten III KSAD, dimana KSAD saat itu adalah Jendral AH Nasution.  Sebagai Asisten III  KSAD, Brigjend Soemarno sangat dekat dengan  KSAD dan lingkungan istana. Rupanya Presiden Soekarno saat itu terkesan dengan rekam jejak Brigjen dr Soemarno. Presiden Soekarno berkeras menjadikan Brigjend dr Soemarno sebagai Gubernur sekalipun Jendral Nasution menawarkan dokter tentara yang lain pada Presiden Soekarno. Pada tanggal 8 Februari 1960, Brigjend dr H Soemarno dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Henk Ngantung sebagai wakilnya.

Pada masa pemerintahan beliau,  banyak proyek besar yang dilaksanakan. Sebut saja Monumen Nasional (Monas), Patung Selamat Datang (Bundaran Hotel Indonesia), dan Patung Pahlawan di Kawasan Menteng, dibangun di era Soemarno. Untuk perbaikan lingkungan, Gubernur Soemarno meluncurkan konsep rumah minimum. Konsep rumah minimum ini adalah rumah dengan luas 90 meter persegi, dibangun di atas tanah 100 meter persegi, terdiri dari dua lantai, lokasinya dekat dengan tempat kerja. Proyek pertama rumah minimum dibangun di Raden Saleh, Karang Anyar, Tanjung Priok, dan Bandengan Selatan.

Karena latar belakang beliau sebagai dokter, maka salah satu program utama beliau adalah penanganan sampah. Sehingga beliau memndapat julukan gubernur sampah. Karena keberhasilan beliau sebagai Gubernur DKI, beliau diangkat sebagai mentri dalam negeri.

 Sebagai Mentri Dalam Negeri

Mayor Jendral dr H Soemarno diangkat sebagai Gubernur tanggal 14 Agustus 1964 oleh Presiden Sukarno. Salah satu karya beliau adalah pembentukan APDN yang sekarang menjadi IPDN. Pada tahun 1965, Henk Ngantung, Wakil Gubernur yang kemudian menggantikan dr H Soemarno mengundurkan diri sebagai Gubernur karena alasan kesehatan. karena dianggap paling kenal dengan wilayah DKI Jakarta, dr Soemarno ditunjuk untuk merangkap jabatan sebagai mentri dalam negeri sekaligus gubernur DKI Jakarta. Pada masa pemerintahan kedua ini terjadi peristiwa G30s/PKI dimana salah satu korbannya adalah sahabat beliu, Jendral Ahmad Yani, yang sering bersama dalam berbagai operasi  militer dan sempat sekantor dimana saat KASAD-nya Jendral H.H Nasution, Jendral Ahmad Yani menjadi Deputi KASAD sedangkan dr H Soemarno sebagai Asisten III KASAD dengan pangkat Brigjen.

Pada tahun 1966 saat suasana politik tidak menentu, dr H Soemarno memasuki masa pensiun pada November 1966. Beliau menjalani masa pensiun kembali berpraktik sebagai dokter bhakan sempat untuk bekerja sebagai dokter di Arab Saudi namun gagal. Beliau aktif di Yayasan Trisakti serta aktif di Yayasan Budi Kemuliaan yang mengelola beberaba rumah sakit. Buku Biografi yang beliau susun diterbitkan tahun 1981

 Dr H Soemarno dan dr Soebandi

Nah apa hubungan antara Mayjen dr H Soemarno dan Letkol dr Soebandi.  Kedua orang ini terkait dengan Jember dan sama-sama dokter tentara.  Dr H Soemarno lahir di Jember, menjadi dokter, kemudian  berkiprah di kalimantan, bergabung sebagai tentara di Malang pada awal kemerdekaan dan bertugas di Malang, Solo, Jakarta, Makasar, dan akhirnya menjadi Gubernur sampai Mendagri. Sedangkan Letkol dr Soebandi lahir di Klakah, menjadi dokter, bergabung dengan PETA, menjadi dokter di Probolinggo,  bergabung dengan TNI di Malang sebagai dokter tentara dan menjadi dokter Resimen Damarwulan serta mengepalai Rumah Sakit Tentara di Jember. Dr Soebandi gugur pada pertempuran di Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember 8 Februari 1949.

Dr Soemarno dan Dr Soebandi, keduanya lulusan NIAS, Surabaya cuma beda angkatan.  Paling tidak ini terlihat dari beda umur keduanya. Dr Soemarno kelahiran tahun 1911 sedangkan dr Soebandi lahir tahun 1917. Di NIAS, dr Soemarno masuk tahun 1929 dan lulus tahun 1938 sedangkan dr Soebandi lulus tahun 1943 saat NIAS menjadi IkA Daigaku pada jaman Jepang. Keduanya bertemu di RST Claket Malang tahun 1945 dan sama –sama mendapat pangkat Kapten (sebelumnya dr Soebandu sudah mendapat pangkat Mayor semasa bergabung di PETA). Dr Soemarno bertugas di RST di Malang sedangkan dr Soebandi ke DKT Jember dan menjadi dokter Resimen.

Keduanya bersahabat sekalipun tidak sering bertemu karena tugas di berbagai pertempuran. Salah satu kesan yang mendalam yang diceritakan oleh dr Soemarno dalam bukunya, beliau sempat mengantarkan dr Soebandi saat akan berangkat bertugas di Karawang dan berpesan “Kang, iistri saya akan melahirkan, Tolong ya, saya minta anak laki-laki”. Dan sepulang dari Karawang, dr Soebandi marah-marah dan mengatakan dokter-dokter di Malang tidak becus, karena anaknya laki-laki.  Salah satu putri dari Dokter Subandi (anak beliau 3 orang, perempuan semua) sempat tinggal  bersama dengan dr H Soemarno dan kuliah di Akademi Arsitektur Pertamanan tahun 1966 sampai lulus.  Keduanya dokter tentara ini tentu membuat bangga warga Jember sekalipun dengan bidang tugas yang berbeda

Mayjen dr H Soemarno meninggal di kediamannya, Jalan Pasir Putih IV/5, Ancol, Jakarta Utara pada tanggal 9 Januari 1991 pada usia 79 tahun. Almarhum meninggalkan seorang istri, tujuh anak, 22 cucu, dan 3 cicit. Dia dimakamkan di TPU Karet, Jakarta Pusat.

Popular posts from this blog

Gang Sartana