Kasus FPI di Palangkaraya, Simbol Konstitusi Raib


INILAH.COM, Jakarta- Sabtu (11/2/2012) akhir pekan lalu, aksi penolakan masyarakat Dayak di Palangkaraya, Kalimantan Tengah terhadap keberadaan Front Pembela Islam (FPI) mengejutkan publik Tanah Air. Ada yang mendukung aksi tersebut, ada pula yang menolaknya. Bipolarisasi kedua kelompok tersebut sinyal kuat konstitusi tengah dalam ujian.
Empat pilar kebangsaan yang terdiri dari UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika benar-benar dalam ancaman. Berbagai peristiwa yang muncul di tengah-tengah masyarakat memberi sinyal kuat konstitusi sebagai pijakan dalam berbangsa dan bernegara dalam ancaman.
Yang paling mutakhir Sabtu (11/2/2012) akhir pekan lalu, aksi sejumlah masyarakat Dayak di Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang menolak kehadiran Front Pembela Islam (FPI) berada di daerahnya. Seperti mengukuhkan diktum populer 'siapa yang menanam maka akan memetik' tampaknya berlaku bagi FPI.
Masyarakat Kalteng khawatir, kehidupan masyarakat tidak lagi tenang dengan keberadaan FPI. "Sebab selama ini organisasi tersebut sudah banyak melakukan kegiatan yang sering membuat keresahan di masyarakat. Sedangkan selama ini kerukunan beragama di Kalteng sangat kondusif," kata Wakil Ketua Dewan Asat Dayak Lucas Tingkes.
Aksi penolakan masyarakat adat Dayak, Kalteng terhadap keberadaan FPI ini diikuti dengan aksi demonstrasi di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mereka menolak kehadiran pimpinan FPI dari Jakarta yang saat itu dijadwalkan melantik FPI Provinsi Kalimantan Tengah. Akibat aksi tersebut, beberapa penerbangan mengalami penundaan penerbangan.
Aksi penolakan keberadaan FPI di Kalimantan Tengah ini sebagai bentuk kekhawatiran akan menganggu keharmonisan antarumat beragama yang selama ini berlangsung. Hal Tersebut ditegaskan Ketua Gerakan Pemuda Dayak Indonesia Kalimantan Tengah (GPDI-KT) Yansen A Binti. Menurut dia, tak perlu FPI hadir di Kalteng. "Untuk apalagi ada FPI yang selama ini pada pemberitaan disebutkan selalu melakukan aksi anarkis dalam mengambil keputusan," kata Yansen.
Aksi tersebut sontak saja mendapat respons dari pimpinan FPI Pusat. Ketua FPI Rizieq Shihab menuding Gubernur Kalteng Teras Narang serta Kapolda Kalteng Damianus Zacky melakukan pembiaran atas aksi yang dilakukan masyarakat, khususnya terhadap pimpinan FPI. "Gubernur dan Kapolda Kalteng membiarkan rencana dan upaya pembunuhan terhadap Pimpinan FPI sejak pagi hingga malam," kata Rizieq.
Tak tanggung-tanggung, FPI melaporkan kedua pejabat Kalteng tersebut ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) serta beberapa tokoh yang dianggap sebagai provokator dalam aksi tersebut yakni Yansen A Binti dan Sabran Syukron.
"FPI bersama FUI (Forum Umat Islam) serta tokoh Dayak Kalimantan Tengah datang ke Mabes Polri untuk melaporkan Gubernur Kalteng Teras Narang beserta Kapolda Kalteng Damianus Zacky dan Yansen Binti Lukas Tingkes juga Sabran Syukron," kata Ketua DPP FPI, Munarman di Mabes Polri, Senin (13/2/2012).
Aksi masyarakat adat Dayak yang menolak keberadaan FPI secara nyata jelas melanggar konstitusi. Seperti dalam pasal 28E UUD 1945 pasal (1,2 dan 3) secara konstitusi melindungi setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun aksi tersebut tidak terlepas dari apa yang dilakukan FPI selama ini yang dinilai publik kerap melakukan aksi kekerasan.
Protes penolakan terhadap FPI di Kalteng sepatutnya juga menjadi renungan bagi FPI. Persepsi publik terhadap FPI dalam melaksanakan aktivitasnya jelas tak bisa dibantah. Berbagai aktivitas FPI di beberapa daerah tak jarang dinilai menakutkan bagi masyarakat.
Lebih dari itu, muara dari aksi FPI versus Dayak di Palangkaraya hanyalah gunung es dari aksi pembiaran yang dilakukan aparat penegak hukum dalam merespons aksi kekerasan. Tidak adanya penegakan hukum berdampak aksi jalanan yang dilakukan oleh masyarakat. Respons masyarakat Kalteng jelas memberi pesan tentang lemahnya penegakan hukum.
FPI dan organisasi apapun berhak hidup di bumi nusantara. Meskipun, semua organisasi dan kelompok tersebut harus menjunjung tinggi aturan main yang terakomodasi melalui konstitusi dan sistem perundang-undangan. Untuk menegakkan aturan main, ketegasan aparat jelas menjadi keniscayaan.
Apapun, aksi masyarakat Dayak yang menolak FPI di Kalteng merupakan bentuk pelanggaran konstitusi yang mengatur kebebasan berekspresi dan bersarikat setiap individu. Begitu pula aksi FPI yang kerap menghadirkan kekerasan juga melanggar konstitusi. Aparat penegak hukum harus tegas dan konsisten dalam penegakan hukum. Jika tidak, tunggu saja gunung es akan meleleh di berbagai daerah di Tanah Air akibat pembiaran aksi ini. [mdr]

Popular posts from this blog

Gang Sartana

dr. Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur keempat jakarta