Bang Pi'i

Dialah jagoan Senen legendaris. Bukan sekedar sangar-sangaran belaka, tapi berjuang demi Republik juga walau kemudian dicap hitam karena jadi pengikut Sukarno.
Salah satu penghuni khas Pasar Senen adalah orang orang dunia hitam dari kelompok Cobra. Ini adalah sebuah organisasi ala mafia jaman dulu, yang dibentuk oleh Bang Pi’i, asli Betawi. Syafei nama aslinya, yang hidup sejak kecil sebagai anak gelandangan di jalanan jalanan Pasar Senen. Sejak umur lima tahun sudah menjadi anak yatim. Ia yang mencari makan untuk adik-adiknya. Sejak umur lima belas tahun ia sudah mengorganisir ribuan preman, pencopet, penjambret. [1]
Iman syafei lahir Agustus 1923, di Kampung Bangka, Kebayoran baru. Syafei sudah berkegiatan di Senen sebelum pendudukan Jepang. Konon, ia berasal dari keluarga sederhana dan nasionalis. Imam Syafei pernah menghuni LOG, sebuah penjara khusus untuk anak-anak nakal pada masa Hindia Belanda. [2]
Mendirikan perkumpulan, Kumpulan 4 sen—dimana dia mengumpulkan para rakyat kecil seperti pedagang kecil, pedagang sayur, pedagang asongan, pedagang kali lima, sais andong, tukang becak, kuli angkut dsb. Perkumpulan ini mengadakan iuran, yang didigunakan untuk membantu para begundal sekiar senen agar tidak membuat onar bagi para pedagang.
Syafei sudah anti Belanda sejak dia bermukim di Senen. Dia pernah dipenjara oleh pemerintah kolonial karena pencurian. Safei semula adalah pencuri di pasar sayur Senen. Ia beroleh kekuasaan di Senen setelah membunuh jagoan Senen, Muhayar—yang berasal dari Bogor. Syafei yang bertubuh pendek harus naik lapak sayur untuk bisa menusuk pisau ke perut Muhayar. Hingga dirinya mengendalikan pasar Senen dan sekitarnya. Dirinya pun kesohor sebagai Preman teresar di zaman itu. menurutHusni, bekas anak buah syafei, ”kalau orang menguasai Senen, dia juga menguasai sekitarnya.” Selama pendudukan Jepang, Syafei dan organisasinya membantu keluarga korban romusya. Syafei sempat ditangkap, namun berhasil melarikan diri ketika terjadi kebakaran. Kemudian tertangkap lagi dan dipenjara ke Ambarawa, namun dia berhasil kabur lagi.[3]
Juni 1945, dia membentuk Oesaha Pemoeda Indonesia yang kemudian berhasil menculik serdadu-serdadu Jepang. Syafei juga memimpin sebuah laskar yang merupakan bagian dari Barisan bambu runcing—yang aktif dalam pertempuran melawan sekutu-Belanda diakhir tahun 1945. Ada kisah yang menyebutkan bahwa Syafei pernah mengejar jip tentara Belanda dengankuda putihnya. Ia lalu meninggalkan Jakarta, untuk memimpin mundur pasukannya dan berjanji akan kembali ke Jakarta. April 1946, dirinya masuk TNI karena laskar-laskar telah identik dengan ekstrimis.
Syafei merasa bahwa perannya adalah sah dan terhormat hingga ia memiliki pangkat resmi. Ketika ada konflik antara laskar dengan TNI, Imam Syafei berhasil meyakinkan sebagian laskar untuk bergabung dengan TNI dan membentuk sebuah resimen Perjuangan yang terdiri dari para penduri dan pencopet sebagai anggotanya.
Tahun 1948, ketika terjadi Madiun Affair, Imam Syafei dan pasukannya terlibat dalam operasi penumpasan para pemberontak yang identik dengan PKI itu.
Kata orang, Bang Pi’i seorang yang sakti mandraguna. Jaman revolusi kemerdekaan ia bisa menerobos pertahanan Belanda dengan cara ‘ menghilang ‘. Benyak yang melihat Bang Pi’i sambil naik kuda sambil memegang kelewang mengejar jeep Tentara belanda di sepanjang jalanan Senen dan Galuh. Ketika di tembaki ia tidak mempan. Mirip, adegan film film action Hongkong besutan John Woo. Misbach Jusa Biran, orang film pernah mendesak Bang Pi’i untuk membuat film mengenai perjuangannya dulu melawan Belanda. Ia menolak, Jawabnya “ Siapa yang mau percaya, nanti orang bilang ane ngibul “.[4]
Syafei terkenal militan dan tidak takut mati. Pasca agresi Militer Belanda II, Syafei memimpin gerilya dari Karawang ke Jakarta. Imam syafei yang buta huruf masih menjadi anggota TNI dengan pangkat Kapten dan menjabat komandan batalyon. konon, karena buta huruf itu pula dia tidak menyandang pangkat Mayor selaku komandan Batalyon, hingga pangkatnya setingkat lebih rendah daripada komandna batalyon pada umumnya. [5]
Setelah KMB, sejumlah organisasi preman mengendalikan kota. awal tahun 1950an, Cobra didirikan Imam Syafei, yang bisa disebut pahlawan perang yang memulai hidup baru pasca perang.
Saat APRA berlangsung Syafei diketahui memiliki organisasi rahasia juga yang bergerak di Jakarta. Namun gerakan batalyon ini sendiri sepengatuan pihak militer republik di Jakarta. Nama kelompok ini adalah batalyon P4 (Pembasmi Pengatjau Perundingan Pemerintah).[6] Nampak jelas bahwa Syafei pendukung setia pemerintah RI dari golongan dunia bawah Jakarta.
Setelah perang kemerdekaan, reorganisasi militer membuat sebagian besar anak buah Bang Pi’I yang buta huruf dipecat. Bang Pi’i sebenarnya juga buta huruf, namun dia dibiarkan tetap di TNI sementara anak buahnya ditampung dalam organisasi yang menjaga keamanan sekitar Pasar Senen. Namanya organisasi ini dibuat seram. Cobra.[7]
Alasan tidak dipecatnya Syafei dikarenakan untuk menghindari sakit hati jika semua bekas pejuang itu dipecat, padahal mereka berjasa bagi revolusi. Sebagai mantan pejuang yang biasa bertempur maka akan muncul penjahat-penjahat yang terlatih dan sulit diatasi. Keberadaan Syafei di TNI dianggap akan menentramkan hati anak buahnya yang bekas pejuang sekaligus bekas orang-orang dunia bawah tanah.[8]
Bukan hal aneh jika orang-orang geng Cobra sudah diatur. Di belakang Syafei, anak-anak buahnya itu kadang susah dikendalikan. Namun jika mereka tahu ada syafei mereka akan bersikap tenang. Syafei berusaha agar anak buahnya tidak membuat onar dan mengganggu pedagang di Senen. Jika ada yang ketahuan membuat onar atau kepergok membuat onak, maka Syafei akan menghajar si anak buah itu. Syafei berusaha memberikan kenyamanan pada pedagang untuk beroperasi di Senen karena mereka membayar uang keamanan. [9]
Dia (Imam Syafei) kembali ke Senen. teman-teman pada datang. ”Gimana kita nggak dikerjakan.” Muncul ide: tolong dikoordinir. Akhirnya dikordinir oleh Imam Syafei, dibuatkan sebuah organisasi barisan keamanan atau kelompok keamanan kampung yang namanya Cobra. teman-teman bekas seperjuangan ini akhirnya direkrut, jadi anggota Cobra. (pengakuan Husni)[10]
Cobra dianggap oleh sebagian pihak dari akronim Korps bambu Runcing. Kelompok ini lahir untuk mengawasi suatu wilayah, juga lahan kerja untuk kaum veteran. Seolah ada kewajiban bagi Imam Syafei cs. Dimana Syafei berharap agar kawan-kawan seperjuangannya tidak jadi penjahat. Organisasi macam ini bukan hal baru bagi syafei, mirip dengan Kumpulan 4 Sen. Cobra berhasil menghimpun jagoan-jagoan Jakarta di Tanah abang, pasar rebo, Jembatan Lima (barat Glodok), Meester Cornelis (Jatinegara) sampai kebayoran lama. setiap kecamatan terdapat anggota geng cobra. geng cobra kerap mendapat perlawanan dari geng lain.
Anggota Cobra adalah sebagian besar adalah orang-orang Betawi, namun ada juga orang Batak, Ambon dan Makassar dsb. anggota kesohor adalah Mat Bendot yan kerap menunggang kuda dan memegang cemeti ekor ikan pari. Ia mengendalikan tanah tinggi. Ia menjadi penyedia perlengkapan preman. cek dien, preman asalah Palembang, membuka bisnis kasino di rumahnya. mereka adalah kepala kelompok—yang biasa melaporkan diri ke Senen sebagai markas besar Cobra. ada hukuman bagi anggota yang bersalah dengan cabukan ekor ikan pari.
Organisasi ini menjadi dekat dengan aparat angkatan bersenjata, karena Imam Syafei sebagai boss besar adalah kapten TNI. Syafei disegani karena ia jagoan yang nekad dan ia bersenjata api. pendapatannya berasal dari upeti pertokoan milik orang Tionghoa yang ada stiker ular kobra berdiri. selain itu, perjudian dan kasino menjadi pemasukan syafei.[11]
Dia kerap bekerjasam adnegan orang China yag buka kasino di Glodok, senen dan jatinegara. Tahun 1959, Cobra bubar karena permintaan Komando Militer jakarta setelah adanya persaingan dengan kelompok lain, seperti Ular Belang. Meski cobra bubar, syafei tetap memiliki pamor. dia masih menjadi perwira TNI. dia masih menjadi tokoh penting di Jakarta, karena mampu menggerakan massa untuk berdemontrasi, mungkin juga untuk berbuat rusuh. inilah yang membuat dirinya memiliki posisi tawar dimata penguasa.
Dalam kabinet seratus menteri, Syafei diangkat menjadi menteri Urusan Keamanan yang mengurusi masalah keamanan Jakarta. jabatan itu dipangku sejak 24 februari hingga 28 maret 1966. Dia mendapat tugas menghamabt demonstrasi mahasiswa angkatan 1966—yang menuntut Soekarno turun. Syafei, yang pernah menumpas perlawanan PKI Madiun, lalu dituduh komunis hingga dirinya ditangkap pada 18 Maret 1966. jelas dia bukan komunis, karenanya dia dibebaskan beberapa bulan kemudian. menurut Misbach Yusra Biran, ”dia tidak tahu apa-apa tentang politik. dia hanya setia pada soekarno. [12]
Cerita tentang Syafei susah ditelusuri karena dia terlanjur dicap komunis. bekas anak buah syafei, Husni, mengaku pernah membakar dokumen tentang syafei karena takut bermasalah dengan orde baru, apalagi sampai dituduh subversif.[13]
Bang Pi’i yang konon kebal peluru ini meninggal karena sakit di RSPAD Gatot Soebroto tahun 70 an. Setelah selama sembilan tahun meringkuk dalam penjara.
Sejarah memang selalu mengajarkan sisi lain yang menarik. Jika Bang Pi’i hidup dalam jaman sekarang, ia pasti menjadi caleg atau setidaknya Ketua Partai.
[14]
Tahun 1980, dalam keremangan pagi, ia harus menerima hantaman peluru regu tembak, bukan dari jejeran serdadu musuh tapi prajurit sebangsanya sendiri. Kusni yang di era revolusi tergabung dalam Batalyon Rampal Malang harus menerima risiko dari pilihan hidupnya sebagai perampok. Tiga puluh tahun sebelum Kusni, Suradi Bledeg, pejuang pemberani dari Merbabu juga harus meregang nyawa di depan Polisi Klaten karena membegal.
Lain lagi dengan cerita beberapa tokoh militer di masa selepas pengakuan kedaulatan RI. Sebagian di antara para perwira menjalani hidup dengan peran ganda. Hadap kanan sebagai pejuang, hadap kiri sebagai dedengkot dunia hitam. Seolah menjadi prototipe dwifungsi yang tengah mencari-cari bentuk.
Mantan komandan Front Bandung Utara, Kolonel Sukanda Bratamanggala, usai revolusi mendirikan geng preman yang menguasai pasar-pasar, terminal dan pusat keramaian di Bandung. Namanya Geng Kobra, akronim dari pangkat dan namanya sendiri, Kolonel Bratamanggala. Geng inilah motor dari aktivitas okem di Bandung.
Melintas ke Jakarta, bekas tokoh kelaskaran di Betawi, Letkol Imam Syafei justru mencatatkan dirinya sebagai menteri negara dalam Kabinet Dwikora di penghujung pemerintahan Soekarno. Sementara dalam panggung yang lain, Bang Pi’i - demikian namanya kerap disebut - punya singgasana di Pasar Senen tempat ia bertahta sebagai raja copet se-Djakarta Raya.[15]
Organisasi Cobra akhirnya menguasai dunia hitam Jakarta tidak hanya di sekitar Pasar Senen. Mulai dari Ancol ke Tanah Abang, sampai cawang yang waktu itu masih pinggiran Jakarta. Cobra jadi tempat berlindung para pencopet, penjambret sampai penyanyi orkes melayu.
Kalau ada yang kecopetan di Pasar Senen, tinggal bilang kepada tokoh Cobra, maka dalam waktu singkat barang akan kembali. Semua tunduk pada Bang Pi’i. Padahal sosok Bang Pi’i bertubuh kecil dengan wajah ramah. Namun galaknya minta ampun terhadap anak buahnya yang melanggar aturan. Kalau ada anggota Cobra buat onar disebuah toko, maka Bang Pi’i akan menggamparnya habis habisan. Tentu saja, karena toko toko, warung selama ini harus membayar iuaran keamanan pada Bang Pi’i.[16]
Kadang kala Bang Pi’i suka jalan jalan dengan mobil mewah Cabriolet dengan kap terbuka. Semua orang akan menggangguk hormat. Para brandal yang sedang mabuk di pinggir jalan, tiba tiba mendadak sadar seketika. Sesekali ia turun dari mobil lalu dengan simpatik bergabung bermain kartu atau ngobrol ngobrol dengan para seniman yang sedang makan di rumah makan Padang Mera pi.
Pelantikan para menteri dengan Presiden Sukarno. Imam Syafei yang dianggap penguasa Jakarta dijadikan Menteri oleh Sukarno untuk mengamankan Jakarta dan sudah pasti untuk mengamankan kekuasaan Sukarno juga.
Pangkatnya sudah Letnan Kolonel. Dalam kabinet Dwikora II - seratus menterinya - Bung Karno, ia masuk sebagai Menteri negara khusus Keamanan. Satu satunya menteri yang buta huruf dalam sejarah Indonesia. Agak aneh, struktur jabatannya. Mungkin Bung Karno mengganggap sebagai tokoh dunia hitam, Bang Pi’i bisa mengatasi demontrasi mahasiswa atau situasi situasi yang mulai merongrong kekuasaan Bung Karno.[17]
Zaman memang berubah. Saat Bung Karno jatuh, Bang Pi’i juga terseret masuk tahanan orde baru. Ia ditawan di penjara Nirbaya berbarengan Omar Dhani, Oei Tjoe Tat, Sri Mulyono Herlambang dan lain lain. Namun Bang Pi’i tetap sosok yang disegani. Walau dipenjara dia sering seenak udelnya memanggil petugas CPM tentara untuk membelikan nyamikan makanan dari luar penjara, atau minta dibukakan pintunya karena ia ingin jalan jalan mencari udara segar.
Ada petugas sipir yang mencoba keras terhadap Bang Pi’i ternyata suatu hari rumahnya kerampokan. Setelah ia meminta maaf, keesokan harinya, barang barangnya kembali lagi.[18]
Imam Syafei pernah menjadi sasaran amukan angkatan 66. Semua karena posisinya sebagai menteri dan sudah pasti karena loyalitasnya pada Soekarno. Dimata Mahasiswa, Imam Syafei dianggap sebagai ketua bajingan Jakarta, ketua perkumpulan copet Jakarta, ahli teror (berpengalaman tentunya), dan yang tidak bisa disangkal lagi dia ikut menguasai dunia bawah tanah Jakarta yang penuh kekerasan.Dia adalah salah satu dari sekian menteri yang harus ditahan dalam daftar menteri-menteri Gestapu.[19]
Ada orang bernama Syafei pernah menjadi orang kepercayaan Nasution. Dia menjadi staf pribadi Nasution bahkan. Meski pendidikan dasar tidak tinggi, Syafei pernah mengikuti Seskoad Bandung dan mampu lulus dengan baik. Syafei terlibat revolusi setelah ia kontak dengan sebuah laskar. Dia baru saja terlibat perampokan sebelum bergabung di TNI. Dia pernah bergabung di Siliwangi dan ikut serta dalam penumpasan PRRI Sumatra.
Setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno, pada 7 Januari 1962 di Makassar, maka Imam syafei ditahan untuk dikorek keterangan tentang pembunuhan itu. Karena Nasution dianggap terkait dengan kasus percobaan pembunuhan ini. Namun Syafei kemudian dibebaskan juga.[20]
Disinyalir Soe Hok Gie dalam catatannya, Imam Syafii selaku orang penting dunia bawah Jakarta, telah mengerahkan banyak preman untuk menghadang aksi demontrasi mahasiswa. Dimana orang-orang Syafii itu siap main pukul bila berhadapan dengan mahasiswa demonstran. Mereka, jika perlu, akan membuat kerusuhan di beberapa tempat penting Jakarta untuk merusak perjuangan mahasiswa yang ingin menggulingkan Sukarno.
Alasan pemilihan Syafei sebagai menteri juga politis untuk menjaga kestabilan Jakarta dari para pengguling Sukarno. Apa yang dilakukan Syafei adalah bentuk loyalitasnya pada Soekarno dan berakibat buruk pada Soekarno. Nama Syafii pun buram di masa orde baru karena ini.Dia pun jauh dari kekuasaan rezim orde baru. Untuk urusan dunia bawah, rezim Suharto tidak pakai Syafii. Syafei pun tampak loyal kepada Nasution. Syafei pun tampaknya selalu setia pada atasannya, pada nasution lalu kepada Sukarno. Meski memiliki kekuatan di Senen, dia tampaknya tidak ingin mengkhianati atasannya meski itu bisa dilakukan.

[1] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553
[2] Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jlid 4 (Masa Pancaroba Kedua), Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 395.
[3] Jerome Tadie, Les territories de la violence a Jakarta, ab. Wilayah Kekerasan Jakarta, Masup Jakarta, 2009, hlm. 237.
[4] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 111.
[5] Ibid, hlm. 238.
[6] Laporan Djawatan Kepolisian Negara bagian PAM Yogyakarta, 21 Februari 1950. Nomor Polisi 278/A.R./PAM/DKN/50.
[7] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553
[8] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 110-111.
[9] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 111.
[10] Ibid, hlm. 241.
[11] Ibid, hlm. 243.
[12] Ibid, hlm. 244.
[13] Ibid, hlm. 236-237.
[14] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553
[15] Teguh Budi santoso http://anusapati.com/?p=31
[16] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 111.
[17] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 141.
[18] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553
[19] Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Yogyakarta, Bentang, 1996, hlm. 10.
[20] Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jlid 4 (Masa Pancaroba Kedua), Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 395

Popular posts from this blog

Gang Sartana

dr. Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur keempat jakarta