Peran Ahok dalam Sengketa Sumber Waras

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menginstruksikan pembelian lahan seluas 3,6 hektar Rumah Sakit Sumber Waras. 
Pembelian lahan itu kemudian berbuntut panjang, bahkan terindikasi kerugian daerah hingga Rp 191 miliar. Ahok terancam dengan tindak pidana korupsi karena telah merugikan negara, namun semua itu belum mampu dibuktikan secara hukum, oleh karena itu perlu adanya suatu pembuktian dan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana kronologis pembelian lahan RS sumber waras tersebut, dan sejauh mana peran Ahok dalam peristiwa tersebut?
Bagaimana kronologi dan peran Basuki dalam pembelian lahan RS Sumber Waras?  

  • Pada 12 Mei 2014, Basuki yang masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur itu pertama kali menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan jantung kepada media. Saat itu, Basuki ingin membangun rumah sakit untuk membantu RS Kanker Dharmais dan Harapan Kita yang pasiennya membeludak. Bahkan, saat itu, Pemerintah Provinsi DKI mengaku telah mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk pembelian lahan RS Sumber Waras. Rencananya, lahan RS Sumber Waras akan dibeli melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2014. Pembangunan RS itu juga dilakukan untuk mengubah rencana komersialisasi lahan yang dilakukan oleh PT Ciputra Karya Utama. Perusahaan itu ingin mengubah peruntukan lahan RS Sumber Waras menjadi mal.  
  • Pada 16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama.  
  • Juni 2014, Dinas Kesehatan DKI merekomendasi Basuki untuk tidak membangun RS di lahan RS Sumber Waras.  Adapun lahan yang sebenarnya disediakan berada di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Kantor Dinas Kesehatan dan di Jalan Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, yang kini menjadi lokasi Gedung Ambulance Gawat Darurat.  Sedianya, lahan di Jalan Kesehatan untuk RS jantung dan di Jalan Sunter Permai Raya untuk RS kanker. Surat tersebut menyebut, lahan RS Sumber Waras tidak dijual.  
  • Pada 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia menjual lahan tersebut. Mereka pun memasang harga nilai jual obyek pajak (NJOP) sekitar Rp 20 juta untuk lahan tersebut. NJOP tersebut sama dengan sebagian lahan milik RS Sumber Waras lainnya yang dikelola oleh Yayasan Sumber Waras yang memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa. Sementara itu, lahan yang ditawarkan kepada Pemprov DKI berada di bagian belakang dekat Jalan Tomang Utara, Jakarta Barat.  
  • Pada 7 Juli 2014, pihak RS Sumber Waras kembali bersurat kepada Pemprov DKI.  
  • Pada 8 Juli 2014, Basuki mendisposisikan surat tersebut kepada Andi Baso Mappapoleonro yang saat itu menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI untuk mempersiapkan anggaran senilai Rp 20 juta tanpa proses negosiasi. 
  • Pada 14 November 2014, Dinas Kesehatan DKI mengeluarkan kajian terhadap lahan RS Sumber Waras. Hasil kajiannya, lahan RS Sumber Waras memenuhi beberapa syarat kelaikan, yakni tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan besar, jangkauan luas, dan luas lahan yang lebih dari 2.500 meter persegi.  
  • Pada 10 Desember 2014, Pemprov DKI resmi menunjuk lokasi pembelian lahan.  
  • Pada 11 Desember 2014, pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras membatalkan perjanjian dengan PT Ciputra Karya Utama. Kemudian, mereka beralih kerja sama dengan Pemprov DKI.
  • Pada 15 Desember 2014, Bendahara Umum Pemprov DKI mentransfer uang senilai Rp 800 miliar ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk membeli lahan tersebut.  
  • Pada 30 Desember 2014, Dinas Kesehatan DKI membayar lahan kepada RS Sumber Waras dalam bentuk cek.  
  • Pada 31 Desember 2014, cek tersebut pun dicairkan oleh pihak RS Sumber Waras.  
  • Pada 6 Juli 2015, di dalam sidang paripurna, BPK melaporkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI tahun anggaran 2014. 


Pemprov DKI mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP) terhadap laporan keuangan tahun 2014. 

BPK mendapatkan 70 temuan dalam laporan keuangan daerah senilai Rp 2,16 triliun. Temuan itu terdiri dari program yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442 miliar dan berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp 1,71 triliun. 

Lalu, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. 

BPK lantas menyoroti beberapa temuan yang wajib menjadi perhatian Pemprov DKI. Salah satunya pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai. 

Indikasi kerugiannya sebesar Rp 191 miliar. BPK juga menilai lahan tersebut tidak memenuhi lima syarat yang dikeluarkan Dinas Kesehatan DKI. 

BPK menilai lahan itu tidak siap bangun karena banyak bangunan merupakan daerah banjir dan tidak ada jalan besar. 

Menurut BPK, lahan yang dibeli Pemprov DKI NJOP-nya sekitar Rp 7 juta. Namun, kenyataannya DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta. 

Hal ini dinilai BPK merupakan NJOP tanah di bagian depan, yang masih menjadi milik pihak Rumah Sakit Sumber Waras.

  • Pada 10 September 2015, Basuki mengakui awal niat Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras karena ada sejumlah pekerja RS tersebut yang berdemo di depan Balai Kota.   Mereka mengadu karena hendak di-PHK dan RS akan diubah menjadi mal. Basuki geram dan berencana membeli lahan tersebut. Saat itu, Basuki belum bertemu pihak RS Sumber Waras, tetapi pemberitaan sudah menyebutkan Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras.  
  • Pada 16 September 2015, Basuki mengungkapkan alasan pembelian lahan RS Sumber Waras ketika paripurna penyampaian pandangan fraksi atas laporan pertanggungjawaban (LPJ) APBD 2014. Basuki menjelaskan, pengadaan RS Sumber Waras itu merupakan kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2014. Dalam pelaksanaan program itu, Basuki menjelaskan, Pemprov DKI melakukan pengadaan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah sesuai NJOP tahun 2014. Nilai transaksi sudah termasuk nilai bangunan dan seluruh biaya administrasi, atau dengan kata lain Pemprov DKI tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lainnya. 
  • Penetapan NJOP berdasarkan zonasi sebagai satu hamparan tanah (satu nomor obyek pajak menghadap Jalan Kyai Tapa) yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai database yang diserahkan oleh Kementerian Keuangan Cq Dirjen Pajak. 
  • Adapun total pembelian lahan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta sesuai dengan NJOP, yakni Rp 755 miliar, dengan berbagai keuntungan karena tidak harus membayar biaya ada administrasi lainnya. 


Selain itu, bukti formal sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas lahan tersebut menyatakan alamat Jalan Kyai Tapa. Sesuai dengan hasil appraisal, nilai pasar lahan tersebut per 15 November 2014 Rp 904 miliar. 

Artinya, kata Basuki, nilai pembelian Pemprov DKI Jakarta jauh di bawah harga pasar.  
  • Pada 28 Oktober 2015, Basuki menyampaikan perpanjangan waktu audit investigasi kasus pembelian lahan RS Sumber Waras oleh BPK.  Perpanjangan waktu audit itu merupakan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 60 hari ditambah 20 hari, menjadi total waktu audit investigasi selama 80 hari.  
  • Pada 23 November 2015, BPK memeriksa Basuki selama sembilan jam. Basuki yang selama ini kerap bersuara lantang dan mempertanyakan kredibilitas BPK justru mendapat banyak pelajaran. 


Kini, Basuki mengakui sistem penganggaran Pemprov DKI yang buruk. Ia menyerahkan kasus tersebut kepada BPK dan KPK.

Sumber: http://megapolitan.kompas.com

Popular posts from this blog

Gang Sartana

dr. Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur keempat jakarta