JOKOWI UNDER COVER SEBUAH CUPLIKAN

Penipuan di Masa Kampanye.

Resmi sudah Jokowi-JK berpasangan maju berhadapan dengan Prabowo-Hatta. Kampanye yang paling tinggi profilnya tentu saja adalah acara debat capres ala KPU.

Pendukung Jokowi sudah siap bersorak mendukung jagonya, betapa pun tolol dan naifnya omongan Jokowi-JK.

Misalnya Jokowi berkata bahwa dia adalah ahli e-budgetting dengan sistem manajemen real time, di mana penyimpangan anggaran bisa diketahui seketika dan secepatnya. Pendukungnya bersorak-sorak mengagumi omongan Jokowi itu, sambil melupakan bahwa omongan Jokowi itu kontradiktif dengan kenyataan bahwa kasus impor bus karatan dari China menunjukkan kelemahan kontrol anggaran oleh Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.

Kalau e-budgetting dan kontrol manajemen anggaran DKI berjalan sesuai omongan Jokowi dalam debat Capres, berarti dia sudah mengetahui penyimpangan sejak awal. Toh semua penyimpangan terus terjadi sampai ketahuan bus-nya karatan. Berarti Jokowi terlibat sejak awal?

Kalau Jokowi benar-benar tidak tahu terjadi penyimpangan, berarti omongan dia dalam debat capres itu hanya bualan bernilai nol besar ? Tapi pendukungnya sudah kosong kepalanya, mereka tetap bersorak dengan gegap gempita. Alwi Shihab bahkan melonjak-lonjak seperti kera di deretan depan para pendukung Jokowi.

Jokowi-JK mendukung pemekaran daerah dan Pilkada langsung. Prabowo-Hatta menentangnya. Anehnya, kiai-kiai dan buya-buya pendukung Jokowi lupa, bahwa NU dan Muhammadiyyah sudah sepakat bahwa Pilkada langsung lebih banyak kejelekannya daripada kebaikannya. Dan semua Jokowers tetap bersorak-sorak dengan segala kekosongan kepalanya.

Yang paling tragis adalah ketika Prabowo berani menyatakan secara terbuka bahwa dia sanggup menutup kebocoran sampai Rp 1000 trilyun per tahun dari kekayaan nasional kita ke tangan pihak-pihak serakah di luar negeri.

Pak tua Jusuf Kalla, entah benar-benar bego, atau pura-pura bego, ngomong bahwa tidak mungkin terjadi kebocoran APBN sebesar itu, yang berarti anggaran bocor Rp 3 trilyun per hari. Dramatisasi kata-kata bohong yang benar-benar pernah keluar dari mulut si tua bangka Jusuf Kalla !

Kalla seharusnya dibentak saat itu juga, siapa yang ngomong itu kebocoran dari APBN ?!!!

Prabowo tidak sekalipun ngomong dari APBN, melainkan dari potensi penipuan sistem bagi hasil tambang-tambang kita dan dari penggelapan pajak tambang.

Prabowo juga menyebutkan dengan jelas bahwa dia mempercayai sinyalemen kebocoran kekayaan negara itu dari makalah Ketua KPK Abraham Samad di sebuah ceramah yang bahkan menyebutkan angka sampai Rp 7.000 trilyun per tahun.

Anehnya pula, Samad pura-pura tidak tahu duduk persoalannya dan dia tidak berani mengeluarkan pernyataan bahwa benar-benar dia pernah mengeluarkan pernyataan yang kemudian disitir Prabowo itu dengan margin toleransi luar biasa, hanya diambil angka minimal Rp 1000 trilyun.

Kalla malah dengan aneh berbicara tentang APBN, entah karena dia pikun, bego, lupa, atau pura-pura.

Jokowi tidak berbicara apa-apa kecuali hanya mencungir-cungirkan hidungnya persis seperti dulu Abu Lahab menghina Nabi Muhammad sebagai orang gila dengan dakwah agama barunya.

Di internet, seluruh Jokower bersorak : bocor, bocor, bocor !
Betul-betul kegoblokan yang luar biasa telah terjadi dengan penggelapan dan penipuan terhadap akal sehat dan nasib rakyat banyak menghadapi kejahatan asing yang sudah dan tetap di depan mata dan telah memiskinkan kita selama puluhan tahun.

Jokowers sudah menutup telinga terhadap peringatan orang sejujur Kwik Kian Gie yang dengan jelas berkata :
“Kita akan menghadapi persoalan ekonomi yang luar biasa beratnya. Kita butuh presiden yang super tegas seperti Prabowo yang mengerti ekonomi makro karena mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Professor Soemitro Djojohadikusumo.

Jokowi bisa mengundang makan orang Solo ke Balaikota untuk berbicara dan menangani persoalan-persoalan di Solo. Tapi apa dia akan mengundang makan orang dari seluruh Indonesia untuk menyelesaikan masalah nasional kita ?”

Omongan-omongan naif Jokowi seperti soal Drone, Buyback Indosat, Tank Leopard merusak aspal dan jembatan, tol laut dan sebagainya pun menjadi simfoni merdu sekali di telinga para jokower yang sudah rusak otak dan hatinya.

Penggiringan opini yang menyesatkan telah terjadi secara besar-besaran dan sedemikian dahsyatnya, dilengkapi dengan pembunuhan karakter besar-besaran terhadap Prabowo-Hatta mulai dari singkatan pelecehan Prahara sampai dengan akrobat jenderal kancil Wiranto.
Prabowo-Hatta Rajasa mereka singkat Prahara. Mereka sebar kabar bohong bahwa Prabowo adalah calon bermasalah dan Hatta Rajasa adalah bos mafia minyak Petral.

Yang paling sontoloyo dalam pembunuhan karakter Prabowo soal tuduhan penculikan tentu saja Wiranto dan Hendro Priyono.
Dua orang yang pernah berambisi menjadi presiden di era masing-masing.

Hendro Priyono diam-diam menyiapkan diri menjadi penganti Soeharto sejak dia menjadi Komandan Korem Garuda Hitam di Lampung.

Dia mencari muka kepada Soeharto dengan melaporkan seolah-olah terjadi gerakan teroris kanan yang dipimpin oleh Warsidi di Talangsari.

Padahal Korem adalah komando teritorial, bukan komando operasi.
Kalau gerakan ekstrim kanan Warsidi bukan isapan jempol Hendro Priyono saja, maka Mabes TNI lah yang harus memberikan perintah penyerbuan kepada gerakan separatisme di daerah.

Jenderal Moerdani yang tahu kelakuan Hendro tidak bisa berbuat apa-apa karena Hendro ini masih familinya Ibu Tien Soeharto.
Kita memang harus mengakui bahwa salah satu kelemahan Pak Harto adalah besarnya campur tangan Ny. Tien Soeharto dalam urusan-urusan seperti ini.

Misalnya, Radius Prawiro menjadi Menteri Perdagangan abadi di setiap kabinet Pak Harto gara-gara dia juga saudara Ibu Tien.
Pak Harto memang lemah terhadap keluarganya, sebagaimana Bung Karno lemah terhadap wanita-wanitanya.

Mochtar Lubis pernah menuding Bung Karno korupsi dana pampasan perang dari Jepang karena membiarkan Sari Dewi (Naoko Nemoto, mantan hostess/geisha/model porno) menguasai pembangunan Hotel Indonesia.

Mochtar Lubis juga pernah menghantam Pak Harto gara-gara Bu Tien memerintahkan para gubernur se Indonesia menyetor uang Rp 50 juta per provinsi untuk dana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.
Mochtar menganggap proyek itu proyek Mercusuar yang tidak berguna bagi rakyat banyak.

Anehnya, Ali Sadikin justeru menjadi penyokong utama Ibu Tien karena Ali yakin Taman Mini akan meningkatkan gengsi kota Jakarta.
Bung Karno menjadi lemah kepada PKI karena cintanya yang menderu-nderu kepada kader Gerwani Hartini.

Pak Harto menjadi lemah kepada Kolonel Sengkuni Hendro Priyono karena Pak Harto tidak enak kepada isteri beliau, Siti Hartinah.

Saya yakin bahwa yang dimaksud LB Moerdani saat dia memperingatkan Pak Harto bahwa keamanan politik Pak Harto terancam karena ulah keluarganya sendiri, termasuk jenis tentara licik seperti Hendro Priyono ini.

Pak Harto marah dan Moerdani ditinggal pergi tidur dan ditinggalkan sendirian di meja bilyar.

Munir adalah aktivis yang paling getol mempermasalahkan hilangnya ratusan orang sebagai akibat operasi gelap Hendro Priyono di Talangsari, Lampung itu.

Padahal pada waktu itu belum ada yang namanya jaringan terorisme Alqaeda. Osama bin Laden masih mesra dengan keluarganya di kerajaan Saudi dan justeru menjadi sekutu Amerika Serikat bertanam ganja di Afghanistan sambil memerangi Uni Soviet.

Warsidi hanyalah penganut tarekat “aboge” yang dia terima dari guru-gurunya di Jawa.

Hendro lah yang menyusupinya dengan orang-orang yang menghasut Warsidi menolak memasang bendera merah putih, membayar pajak dan sebagainya.

Bukannya membina, Hendro langsung membinasakan mereka untuk mencari muka dan agar cepat naik pangkat karena waktu itu hubungan Pak Harto dengan ummat Islam agak terganggu, yang dimulai sejak penerbitan PP 10 –atas desakan Bu Tien juga yang sedang marah karena Pak Harto berpacaran dengan Rahayu Effendi- yang melarang pegawai negeri berpoligami, dan kiai-kiai PPP walk out dari ruang sidang DPR. Karena umumnya kiai-kiai beristeri minimal dua.

Hendro Priyono lah yang menjadi dalang pembunuhan Munir. Yang menjadi anteknya adalah Pollycarpus, seorang prelatur (kaki tangan) Vatikan, yang kebetulan menjadi pilot Garuda dan direkrut Hendro menjadi agen BIN untuk meracuni Munir.

Yang menjadi kambing hitam adalah Mayjend Muchdi Paranjono, sekutu Prabowo yang mengajak Prabowo kudeta di tahun 1998 tapi ditolak Prabowo.

“Ayo kita bikin konfrontasi !” ajak Muchdi ketika Prabowo dipecat Habibie dari Panglima Kostrad.

Hendro tentu tidak ingin Prabowo yang jadi presiden dan Muchdi PR menjadi kepala BIN, karena Muchdi akan balik memotong leher Hendro.
Maka Hendro pun mati-matian mendukung Jokowi dan dari mulut orang semacam Hendro inilah muncul kampanye hitam terhadap Prabowo : “Tentara psikopat grade empat !”

Padahal Prabowo ini sejak masih mayor sudah menjadi kesayangan M. Jusuf dan ketika Prabowo menjadi wakil komandan batalyon yang berhasil menembak Wakil Presiden Fretilin Lobato, M. Jusuf menyempatkan diri terbang ke Dilli untuk mengucapkan selamat kepada Prabowo, sambil memeluknya :

“Kamu akan menjadi orang besar seperti orangtua-orangtuamu !”

Jangan tanya kok wakil komandan yang dipeluk Pangab, karena komandan batalyonnya gugur di pertempuran.

Jenderal lain yang empot-empotan jidatnya jika Prabowo yang naik tentu saja adalah Wiranto, rival utama Prabowo menjelang Pak Harto jatuh dan semasa jabatan Habibie.

Pak Harto mencurigai Prabowo atas bisikan-bisikan maut Wiranto. Habibie ditipu Wieranto bahwa Prabowo mau kudeta. Tanya saja kepada Muhcdi PR apakah Prabowo pernah berniat kudeta. Jawabnya pasti tidak, malah saya yang kepingin kudeta, begitu pasti jawaban Muchdi, Komandan Kopassus yang ikut diseret-seret Wiranto dalam sidang DKP.

Munir, sebelum mati juga terang-terangan menuding Wiranto sebagai dalang penembakan Trisakti dan kerusuhan Mei yang membakar Jakarta.

“Prabowo memang terlibat penculikan, itu kan perintah Soeharto juga. Tapi mana mungkin Prabowo membikin kerusuhan yang mempercepat kejatuhan Soeharto. Jadi mestinya Wieranto berani menyidang Prabowo di Mahkamah Militer, seperti permintaan Prabowo sendiri. Kalau cuma di DKP ya percuma, itu cuma sidang etika, bukan sidang pro justisia,” kata Munir.

Prabowo selalu menegaskan bahwa semua yang dia lakukan diperintahkan oleh dan dia laporkan kembali kepada atasan-atasannya.
Tuduhan sekaligus vonis DKP (Dewan Kehormatan Perwira) adalah pemberian perintah di luar pengetahuan atasan.

Bagaimana DKP bisa memutuskan demikian, padahal dalam sidang itu tidak terjadi pengungkapan apa-apa karena Prabowo hanya mau membeberkan bukti-bukti tertulis yang dimilikinya di depan Mahkamah Militer ?

Sidang DKP Cuma ngobrol-ngobrol saja karena semua anggotanya (SBY, Agum Gumelar, Fakhrurrazy, dan Soebagyo HS) semua tidak punya nyali berhadapan dengan Prabowo.

Akhirnya Wiranto main vonis saja dan memberikan usulan kepada Habibie agar Prabowo Subianto diberhentikan dari dinas militer secara hormat dengan hak pensiun.

Prabowo menerima saja keputusan itu tanpa melakukan perlawanan sedikitpun karena dia tahu Wiranto telah berkomplot dengan Habibie dan kepada Pak Harto telah diberikan laporan-laporan palsu tentang hubungannya dengan kelompok-kelompok pro reformasi dan apa yang dilakukan para pendukung Prabowo yang membawa surat Jenderal Nasution yang isinya merekomendasikan agar Wiranto diganti sebagai Pangab karena gagal mencegah kerusuhan Mei sebelum Pak Harto jatuh.
Mengenai penculikan aktivis yang melibatkan Prabowo, kita boleh yakin seyakin-yakinnya bahwa itu atas perintah Soeharto dan juga diketahui oleh Wiranto sebagai KSAD dan Feisal Tanjung sebagai Pangab.

Adalah akal-akalan Wiranto saja yang mengarahkan keputusan DKP agar Prabowo dipersalahkan karena melakukan penculikan atas inisiatif Prabowo sendiri.

SBY sendiri hanya bermain mengikuti angin bertiup dan dalam irama gendang yang ditabuh Wiranto, begitu pula anggota-anggota DKP yang lain.

“Saya menuntut pengadilan militer, bila saya dipersalahkan sebagai anggotga militer. Tapi mereka tidak berani, mereka tidak punya nyali berhadapan langsung dengan saya !” kata Prabowo kepada koran The Asian Times seperti dikutip Eros Djarot dalam bukunya : ”Tumbangnya Seorang Bintang”.

Kita tidak tahu apakah perintah Pak Harto itu penangkapan atau penghilangan, karena seperti kata Gus Dur, Pak Harto itu seperti Raja Jawa yang berprinsip apa yang diperbuat tangan kanannya, tangan kirinya pun tidak boleh tahu (sangat memegang rahasia). Tapi Pak Harto bahkan tidak pernah mengingkari bahwa dia pernah membiarkan pembantaian orang-orang PKI dan gali-gali kelas teri di jaman Moerdani.

Lagi pula dalam operasi inteljen semacam itu, amat riskan untuk membebaskan mereka yang sudah ditangkap hidup-hidup. Resikonya mereka akan menyanyi.

Justeru di sini kita harus mempertanyakan, apakah Prabowo melanggar perintah Pak Harto untuk melenyapkan para korban penculikan atas inisiatif Prabowo sendiri ?

Sebagai menantu, Prabowo tentu sudah punya feeling bahwa Pak Harto memang akan segera jatuh, dan Prabowo tidak ingin mertuanya itu menambah panjang daftar dosanya.

Justeru karena itu pula Prabowo lalu dicurigai oleh Pak Harto akan mengambil alih kekuasaan.

Wiranto lah yang kemudian mengail di air keruh, dengan menggunakan tim lain, dia memerintahkan operasi sampingan untuk menculik kembali beberapa orang yang sudah dibebaskan Prabowo untuk mendiskreditkan Prabowo di mata Pak Harto agar Wiranto semakin mendapat kepercayaan.

Kivlan Zen mengaku mengetahui tim sampingan yang menculik kembali orang-orang yang dibebaskan Prabowo itu dan Kivlan siap bersaksi di depan Komisi Rekonsiliasi Nasional untuk mengungkap juga keterlibatan Megawati dan Moerdani serta Hendropriyono dalam aksi-aksi kerusuhan Mei di Jakarta yang sengaja dibiarkan Wiranto dengan pergi menghadiri upacara seremonial TNI di Malang.

“Saya tahu di mana mereka ditembak dan ke mana mayatnya dibuang. Semua itu diperintahkan oleh orang yang ingin menjatuhkan Prabowo. Saya bersedia bersaksi di depan sebuah Panitia Nasional untuk menyelidiki masalah-masalah itu !”

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Wiranto mempunyai hubungan tidak profesional dengan Mamiek Soeharto.

Mamiek lah yang menuding muka Prabowo dengan jangak :
“Kamu pengkhianat, jangan pernah kamu injakkan kaki lagi di rumah ini !” kata Mamiek yang menurut kabar burung bukan anak Pak Harto dan Bu Tien tapi adalah anak Tutut yang lahir sebelum Tutut menikah resmi dengan suaminya Rukmana ini, jadi Mamiek itu anak Tutut dan Rukmana, di luar nikah.

Lagi pula secara logis kita harus berpikir, jika Wiranto mengaku tidak tahu terjadinya penculikan, justeru dia bersalah karena tidak tahu itu.

Seorang Panglima harus tahu apa pun yang dilakukan oleh bawahannya. Kalau tidak tahu berarti dia Panglima goblok.

Faizal Tanjung diperintah Pak Harto membunuh Gus Dur dan Megawati saja Wiranto tahu dan membocorkan itu kepada Gus Dur kok ?
Benarkah itu atau memang Wiranto ini yang memang suka ngember sejak dulu kala ?

Yang jelas Gus Dur sendiri yang menceritakan laporan Wiranto soal perintah Feisal Tanjung itu.

Bagaimana bisa Wiranto mengaku tidak tahu apa yang dilakukan Prabowo sejak menjadi Danjen Kopassus dan menyangkut target belasan orang itu ?

Sebuah hil yang mustahal, meminjam lelucon pelawak Asmuni almarhum, artinya hal yang mustahil.

Yang paling fatal adalah ketika Wiranto mengatakan keputusan Sidang DKP (atau nama lainnya DKM, Dewan Kehormatan Militer) itu tidak rahasia-rahasia betul, makanya boleh saja dijadikan bahan kampanye untuk memojokkan Prabowo.

Mana ada aturan militer yang tidak tegas seperti itu. Rahasia ya rahasia, tidak rahasia ya tidak rahasia.

Secret is secret. There is no half secret.
Siiruka as sirruka, idzaa arsalta hu fa anta sirruhu.
Rahasiamu adalah tawananmu, kalau engkau melepaskannya maka engkau menjadi tawanan rahasiamu itu.

Itu kata Gus Dur dalam bahasa Arab.

Wiranto ngember di Metro TV bahwa dia siap dituntut Prabowo jika dianggap membocorkan rahasia TNI itu. Itulah model retorika goblok Wiranto. Buat apa menuntut kegoblokan itu, ketika seluruh dunia sudah tahu jenis jenderal kayak apa Wiranto itu ?

Dalam jangka pendek, itu memang menguntungkan Jokowi karena para bebek pengikutnya akan semakin getol menghujat Prabowo berdasarkan pembocoran dokumen hasil sidang DKP itu.

Tapi itu juga keuntungan besar bagi Prabowo, nanti setelah para Jokower sembuh dari penyakit gilanya setelah sihir Jokowi pudar dalam hitungan bulan.

Bukankah mantan Menteri Sekretaris Negara jaman Habibie, Professor Muladi sudah memberi kesaksian bahwa usulan pemberhentian Prabowo dengan hormat dan hak pensiun Rp 3.750.000 itu ditulisi sendiri oleh Wiranto : Bersifat rahasia !

Jadi ada lagu untuk Wiranto ini : Kau yang mulai, kau yang mengakhiri, soal diktum rahasia itu !

Dalam bahasa gaul, Wiranto adalah Jenderal Brekele dan tidak punya malu lagi dibentak-bentak Pak Johanes Suryo Prabowo, Pak Joko Santosa, dan Pak Kivlan Zen dengan namanya langsung : Hai To, Wiranto !

Para Jokower tidak henti-hentinya bilang bahwa Prabowo adalah jenderal pecatan, biarlah Tuhan sendiri yang kelak membakar mulut mereka yang penuh sampah itu.

Mereka juga bilang, Prabowo diberhentikan dengan hormat karena Wiranto dan Habibie masih menghormati Pak Harto.

Menghormati Pak Harto dari Hongkong ? Wiranto membiarkan mahasiswa naik ke atap gedung DPR untuk mempercepat kejatuhan Pak Harto kok. Wiranto juga berencana menggunakan peluru tajam untuk membantai massa yang mau datang ke acara Amien Rais di Monas.

Kalau itu terjadi, maka Pak Harto akan segera jatuh dengan nama yang buruk sekali. Oleh karena itu Prabowo menemui Amien Rais dan meminta Amien Rais membatalkan acara di Monas itu.

Wiranto segera membisiki “pacarnya” si Mamiek, bahwa Prabowo telah bersekutu dengan Amien Rais, dan terjadilah drama pengusiran Prabowo dari Cendana itu, sementara Wiranto adalah peserta gelap dalam rapat keluarga Soeharto itu.

Prabowo tetap tegar dalam pendiriannya, secara konstitusional, Habibie memang akan naik menggantikan Pak Harto, suka tidak suka Pak Harto-nya.

Prabowo menolak desakan Adnan Buyung Cs agar mengambilalih kekuasaan.

Begitu banyak saksi sejarah yang dengan gamblang membuktikan bahwa Prabowo bukanlah seorang tentara bermental kudeta.

Tapi dalam masa kampanye, semua Jokower sudah buta matanya dan budek telinganya. Mereka lupa, bahwa pada tahun 2009, ketika Prabowo maju sebagai calon wakilnya Megawati, tidak ada ember-ember berbunyi nyaring seperti di tahun 2014 ini dari mulut Wiranto, Hendro, Luhut, maupun Agum Gumelar soal kasus penculikan 1998.

Soal Luhut dan Agum, tidak penting-penting amat untuk dibahas. Luhut masih bersaudara dengan Sintong Panjaitan, kader Moerdani, Prabowo hater sejak lama.

Agum Gumelar sudah sejak lama pula dikantongi Megawati bahkan pernah dicalonkan menjadi Gubernur Jawa Barat tapi keok melawan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf !

Yang lebih menarik adalah sikap Panglima TNI Moeldoko soal pembocoran dokumen DKP oleh Wiranto itu. Moeldoko berkata, tidak ada dokumen itu di Mabes TNI.

Kalau Moeldoko tidak bohong, maka berarti sidang DKP itu sidang abal-abal yang tidak diagendakan resmi oleh Mabes TNI dan tidak ada dokumentasinya, dan murni akal-akalan Wiranto Cs.

Kalau dokumen itu sebenarnya ada, maka Moeldoko lah yang berbohong untuk melindungi Wiranto dari tuduhan serius membocorkan rahasia TNI.

Mengingat gerak-gerik Moeldoko sebelumnya dan sesudahnya, agaknya yang kedua inilah yang terjadi.

Moeldoko berbohong untuk menyelamatkan bokong Wieranto yang sedang diperlukan kebohongannya oleh Megawati untuk memenangkan Jokowi dan memfitnah Prabowo.


Sumber:http://cahyono-adi.blogspot.co.id/2016/05/cuplikan-isi-buku-jokowi-undercover.html#.WHb4NdLRZQI

Popular posts from this blog

Gang Sartana

dr. Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur keempat jakarta